13 Mei 2013

Anak Lebih Berharga

Seorang ibu sedang membersihkan kulkas ketika anaknya yang berusia empat tahun mendatanginya. Anak itu membawa majalah dan menanyakan sesuatu.

Ibu itu bergegas mencuci dan mengeringkan tangan, duduk di kursi, memangku anak itu, dan menghabiskan waktu selama sepuluh menit untuk menjawab pertanyaan anaknya.

Seorang tamu yang melihatnya berkata, "Biasanya kaum ibu tidak mau diganggu saat ia mengerjakan sesuatu."

Ibu itu menjawab, "Saya masih dapat membersihkan lemari es itu selama sisa hidup saya, tetapi pertanyaan anak saya tadi mungkin tidak akan pernah terulang lagi."


Sebagai orangtua, kadang kita tidak memiliki waktu yang cukup untuk keluarga dan anak-anak. Pekerjaan dan kesibukan yang menumpuk lebih menyita perhatian kita. Kapan kita memerhatikan perkembangan anak?

Biasanya kita baru turun tangan ketika anak mulai menimbulkan masalah, lalu kita marah-marah pada mereka. Jarang kita memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan tenang, lemah lembut, dan dari hati ke hati.

Apakah kita menyadari bahwa ketika anak membuat onar, kadang-kadang itu disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang kita?

Betapa sedihnya mereka; untuk menarik perhatian kita saja mereka harus membuat masalah dulu. Mereka harus bersaing dengan setumpuk kertas proyek, deposito di bank, kedudukan, karier, dan prestise yang kita kejar.

Mengapa kita tidak meluangkan waktu khusus untuk mereka? Kesempatan kita untuk memerhatikan mereka terbatas. Kita tidak ingin kehilangan kesempatan yang berharga itu, bukan?

Perhatian dan kasih sayang kita kepada anak-anak menunjukkan penghargaan pada Tuhan yang mengaruniakan mereka.

* * *

Penulis: Petrus Kwik | e-RH, 13/5/2013

(diedit seperlunya)

==========

29 April 2013

Menjadi Orangtua Efektif

Banyak orangtua takut menjadi tua. Takut ditinggal hidup sendiri di panti wreda, yang sekalipun mewah tetapi jauh dari anak cucu. Bagai burung tua yang menunggu mati di "sarang yang kosong" setelah anak-anak dewasa dan mandiri.

Namun sebenarnya orangtua tak perlu mengalami hal itu, jika sejak dini mereka membangun relasi keluarga berdasarkan ketaatan pada firman Tuhan. Yakni, agar anak taat dan hormat pada orangtua. Di lain pihak, orangtua diminta agar tidak membuat anak-anaknya marah (Efesus 6:1-4).

Bagaimana orangtua dapat membuat anaknya marah? Jika orangtua tak punya waktu untuk membangun komunikasi dan memberi perhatian yang cukup untuk anak, dengan alasan harus bekerja keras demi masa depan anak. Sikap ini justru 'secara langsung' menunjukkan sikap egois orangtua.


Jika orangtua rindu anak-anak tetap hormat, peduli, dan mengasihi, maka sejak dini orangtua harus membangun kasih dan kepedulian. Bukan dengan kasih materialistis yang membanjiri anak-anak dengan materi tanpa kehadiran orangtua.

Jika hubungan seperti ini ada dalam keluarga, yakinlah bahwa kerinduan anak ialah selalu ingin membuat orangtua bangga. Bangunlah relasi keluarga yang sehat sebelum terlambat. —SST

Setiap anak hanya akan membuahkan apa yang ditanamkan orangtuanya ketika ia kecil.

* * *

Sumber: e-RH, 3/9/2011

(dipersingkat)

==========

15 Maret 2013

Ayah Sejati

Paus Yohanes XXIII pernah berkata, "Seorang ayah bisa dengan mudah memiliki anak. Jauh lebih sulit bagi seorang anak untuk bisa memiliki ayah yang sejati." Sebuah pernyataan yang menggelitik, tetapi diam-diam kita sepakati.

Memang, sekadar menjadi ayah sangat berbeda dengan menjadi ayah sejati.

Ayah sejati mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri sejak ia memiliki anak. Ayah sejati mendampingi dengan kasih, saat sang anak tertatih belajar menjalani hidup. Ayah sejati tak hanya mempersiapkan warisan duniawi, tetapi menurunkan iman yang membawa pada hidup kekal.

Sebagai ayah, Nabi Nuh menunjukkan tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang mengarahkan hidup seluruh keluarganya. Walau dunia tempat tinggal mereka sudah begitu kacau karena kejahatan dan ketidaktaatan, Nuh tetap bertahan hidup benar dan tidak bercela (Kejadian 6:9).

Nabi Nuh

Tentu itu bukan hal mudah yang baginya. Namun ia sanggup melakukannya, karena ia bergaul karib dengan Tuhan. Tak heran ia mendapat kasih karunia istimewa dari Tuhan.

bahtera Nuh

Tak berhenti di situ saja. Ia menurunkan kepercayaannya itu kepada seluruh keluarganya. Buktinya, di tengah masyarakat yang bersikeras tak mau mendengar peringatan Nuh; istri, anak, dan menantunya masih mau percaya dan mengikutinya. Dan, ketika mereka mengikuti pimpinan Nuh, mereka pun selamat dari kebinasaan (Kejadian 7:23).

air bah

Para ayah, di tangan Anda ada mandat Tuhan untuk memimpin keluarga Anda menuju kehidupan sejati di dalam Tuhan. Hiduplah karib dengan Tuhan, maka seluruh keluarga Anda akan mengikuti dengan rela, percaya, dan sukacita.

Ketika ayah meneladankan ketaatan kepada Tuhan, maka keluarga akan memberi respons yang sepadan.

* * *

Penulis: Agustina Wijayani | e-RH, 15/3/2013

(diedit seperlunya)

==========

28 Februari 2013

Gajah Yatim Piatu

Pada akhir 1990-an, terjadi keanehan di beberapa taman nasional di Afrika. Beberapa ekor gajah tiba-tiba menjadi buas, padahal gajah tergolong binatang yang jinak. Mereka menyerang ternak, badak, bahkan manusia.

Selidik punya selidik, ternyata mereka adalah gajah yatim piatu yang sedang puber. Biasanya induk mereka akan mendidik dan mengendalikan tingkah laku mereka. Tetapi, karena mereka sudah kehilangan induk sejak kecil akibat perburuan liar atau mendapatkan perlakuan yang salah, gajah-gajah tersebut bertumbuh secara liar.

gajah menyerang manusia

Bukan hanya bagi gajah, peran orangtua dalam pembentukan karakter seorang anak sangatlah krusial. Tidak sedikit orang yang memiliki karakter buruk karena tidak mendapatkan didikan yang tepat dan memadai pada masa kecilnya.

Orang yang rendah diri mungkin sewaktu kecilnya sering menerima hinaan dari orangtuanya. Orang yang kejam mungkin semasa kecilnya sering dipukuli oleh orangtuanya. Tidaklah mengherankan, firman Tuhan mengingatkan orangtua agar mendidik anak-anak dengan benar. Di sisi lain, anak-anak juga diingatkan untuk menghormati orangtua mereka dengan semestinya.

Jika Anda adalah orangtua, asuhlah anak Anda dengan penuh tanggung jawab. Pastikan Anda mendidik dan membentuk karakternya dengan baik.

gajah yang punya orangtua

gajah duduk di kloset

Jika Anda adalah seorang anak, hormatilah orangtua atau wali Anda. Pastikan Anda belajar dari mereka yang dipercayakan oleh Tuhan untuk mengasuh Anda. Mereka memiliki pengalaman hidup yang jauh lebih kaya dari Anda. —Alison Subiantoro

Warisan terbaik dari orangtua kepada anak adalah teladan kebajikan dan karakter.

* * *

Sumber: e-RH, 23/2/2013 (diedit seperlunya)

==========

01 Februari 2013

Bibit Orangtua

Dalam budaya sebagian masyarakat di Indonesia, ada kepercayaan tentang pentingnya kualitas bibit seseorang. Bibit di sini berarti orangtua sang anak. Menurut kepercayaan ini, orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik pula, dan sebaliknya.

Sebagai contoh, anak seorang raja dipercaya lebih berkualitas daripada anak rakyat jelata. Sebaliknya, anak seorang penjahat dipercaya pasti tidak akan menjadi anak yang baik.

Memang normal kalau seorang anak yang dibesarkan di tengah keluarga yang baik akan cenderung bertumbuh dengan baik, dan sebaliknya. Tetapi, di sisi lain, kualitas orangtua bukanlah sesuatu yang diturunkan secara genetik.

Bimbingan dan didikan orangtua turut berperan dalam menentukan pembentukan kualitas karakter anak-anak.


Perhatikanlah pengalaman keluarga Imam Eli, yang dicatat dalam Perjanjian Lama. Meskipun ia seorang imam besar, anak-anaknya memiliki karakter yang buruk.

Hal ini disebabkan karena sikap Imam Eli sendiri yang cenderung kurang tegas dalam mendidik anak-anaknya. Terlihat dari caranya menegur mereka, meskipun kesalahan mereka sangat besar.

Fakta ini memberikan harapan bagi kita yang memiliki orangtua yang kurang baik. Ya, kita tidak harus menjadi sama dengan orangtua kita. Pengenalan akan Tuhan dan kebenaran-Nya memampukan kita untuk mengembangkan karakter yang baik atau karakter ilahi.

Di sisi lain, bagi para orangtua, fakta ini menantang kita untuk mendidik anak-anak selaras dengan firman Tuhan, agar karakter mereka terbentuk sejak dini. —Alison Subiantoro

Kualitas karakter seorang anak tidak diturunkan, tetapi dibentuk melalui pendidikan dari orangtua.

* * *

Sumber: e-RH, 20/1/2013 (diedit seperlunya)

Judul asli: Bibit

==========

14 Januari 2013

Teori Pengasuhan Anak

Grace, anak saya, bercerita tentang suka duka dalam merawat anaknya, Jane. Menurutnya, teman-temannya —sesama ibu muda— mengalami tantangan serupa. Mereka membaca teori tentang pengasuhan anak dari banyak buku yang ditulis oleh penulis Barat.

Menarik, namun metode pendekatan dan penekanannya berbeda-beda. Timbul kesan, beberapa aspek hanya cocok dengan kebiasaan orang Barat. Jadi, bagaimana pengasuhan yang sesuai dengan firman Tuhan itu? Apakah yang utama dalam mendidik anak?

Salomo (Nabi Sulaiman) menunjukkan pentingnya takut akan Tuhan. Maksudnya tentu saja bukan takut akan hukuman Tuhan atau takut ditolak oleh-Nya, melainkan rasa hormat dan gentar akan keagungan dan kekudusan-Nya.


Takut akan Tuhan mendatangkan berkat bagi keturunan kita dan merupakan sumber kehidupan sejati. Rasa takut yang muncul berdasarkan pengenalan pribadi akan Tuhan ini melandasi kebahagiaan yang murni dan tak berkesudahan, serta memampukan kita untuk menangkal dosa dan godaan.

Nah, bukankah itu hal yang terpenting bagi orangtua dalam mendidik anak, yakni mendorong mereka untuk memiliki rasa takut akan Tuhan?

Sebagai orangtua, kami bersyukur atas anugerah-Nya sehingga anak-anak kami boleh mengenal Tuhan sejak dini —Grace pada umur 12; Lisa pada umur 11; Yahya pada umur 10— dan mereka bertumbuh menjadi anak yang takut akan Tuhan.

Maka, dalam percakapan tadi, Grace menyimpulkan: hal yang utama dalam mendidik Jane (anaknya) adalah menolongnya mengenal Tuhan dan bertumbuh dalam pengenalan itu sehingga ia memiliki rasa takut akan Tuhan. —Stephanus Junianto

Mendorong anak bergaul karib dengan Tuhan sejak dini adalah sumbangsih terpenting kita sebagai orangtua.

* * *

Sumber: e-RH, 14/1/2013 (diedit seperlunya)

==========

Artikel Terbaru Blog Ini